Rabu, 16 Desember 2015

Biografi Imam Asy-Syafii

Nama dan Garis Keturunannya

Beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki

Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga.


Sedangkan as-Saib bin Ubaid masuk Islam pada perang Badr dan anaknya Asy Syafi' bin As Saib termasuk sahabat junior, dari sinilah namanya dinisbatkan.

Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman. Ketika ia hamil, ia menyaksikan bintang yang terang keluar dari kemaluannya dan cahayanya menerangi Mesir lalu menyebar ke belahan bumi lainnya. 


Masa Pertumbuhan dan Perjalanan Keilmuannya

Beliau -rahimahullah- lahir pada tahun 150 H di Ghaza. Sejak kecil ayahnya telah meninggal dunia. Ibunya membawanya ke negeri Hijaz ketika beliau berumur 2 tahun  lalu membawanya ke kota Makkah saat berumur 10 tahun untuk menjaga nasabnya yang mulia. Beliau telah menghafal Al Qur'an saat berumur 7 tahun dan khatam menghafal Al Muwaththa' karya Imam Malik pada usia 10 tahun. Di hadapan
imam Malik, beliau membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam takjub. Beliau telah pula diizinkan oleh gurunya, Muslim bin Khalid Az Zanjiy untuk berfatwa pada usia 18 tahun (ada yang berkata usia 20 tahun)

Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.

Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.

Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa,beliau mempelajari bahasa dan sya'ir dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Beliau tinggal di sana selama 10 tahun (bahkan ada yang mengatakan 20 tahun).

Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis.

Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,”. Dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya".

Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.

Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).

Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional),
kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga
melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.

Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Di sanalah seorang ulama bernama Abdurrahman bin Mahdi meminta kepadanya untuk  menulis sebuah kitab yang memuat perkara ushul, maka ditulislah kitab yang diberi nama 'Ar Risalah'.


Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H.

Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.

Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady
dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy.

Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari
pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.

Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan mengcounter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.




 

Guru-gurunya

diantaranya al Imam Malik bin Anas, Muslim bin Khalid Az Zanji, Ismail bin Qastantin, Muhammad bin Hasan Asy Syaibani dan banyak lainnya.
  

Murid-muridnya
 
Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany , al-Karaabiisy, Abu Ali bin Hasan Az za'faraniy, Abu Ya'qub yusuf bin Yahya al Buwaithy, dan banyak lainnya.




Pujian Para Ulama kepadanya (dan beliau tidaklah mengharapkan pujian siapapun kecuali pujian Allah)


Qutaibah bin Said, berkata, "Dia adalah seorang Imam." Dia senantiasa mendoakannya dal shalat-shalatnya.

Abu Ubaid, "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih fasih, lebih berakal dan lebih wara' selain Asy Syafii."

Yahya bin Aktsam al Qadhi, Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin Al Hasan dan banyak ulama lainnya senantiasa menyebut namanya dan menjelaskan perkataan-perkataannya.

al Imam Ahmad bin Hanbal mendoakannya dalam shalatnya selama 40 tahun. Adapun Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu , Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya pada setiap awal seratus tahun, Allah mengutus mengutus seseorang untuk memperbaharui urusan agama untuk ummat ini." 
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, "Maka Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang dimaksud pada seratus tahun pertama dan Asy Syafii pada seratus tahun yang kedua."

saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada
penggantinya?”
 

Yahya bin Main berkata, " Sekiranya berdusta itu boleh secara mutlak baginya, maka sungguh kemuliaannya akan mencegahnya dari kedustaan."

Ibnu Abi Hatim berkata, " Beliau adalah orang yang faqih badannya dan terpercaya lisannya."

Nasihat-nasihat agung beliau yang menunjukkan keikhlasannya dan murninya aqidahnya

Beliau  rahimahullah berkata, "Jika suatu hadits shahih di sisi kalian, maka berhujjahlah dengannya dan tinggalkanlah perkataanku, karena sesungguhnya aku pun berkata dengannya, meskipun kalian tidak mendengarnya."


Suatu ketika ada seorang lelaki yang berkata, "Wahai Aba Abdillah, apakah kita mengambil hadits ini? Maka beliau berkata, "Bila aku meriwayatkan suatu hadits yang shahih lalu aku tidak mengambilnya, maka aku mempersaksikan pada kalian bahwa akalku telah hilang."


Beliau berkata, "Hendaklah kalian sering bersama ahli hadits, karena mereka adalah orang-orang yang paling banyak benarnya."


Beliau sangat membenci ahlul kalam dan berkata," Seseorang yang ditemui Allah dalam keadaan telah melakukan semua dosa selain syirik, maka itu lebih baginya daripada Allah menemuinya dengan ilmu kalam." Katanya pula, "Hukumku bagi ahlul kalam adalah dicambuk dan diarak keliling kampung lalu diteriaki, 'inilah balasan bagi orang yang meninggalkan kitab dan sunnah." Dan perkataannya yang lain, "Sekiranya manusia tahu apa yang ada pada ilmu kalam, maka sungguh mereka akan lari darinya sebagaimana lari dari kejaran singa."




Dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan RasulNya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan RasulNya tanpa melakukan tahrif (perubahan), ta`wil (penafsiran yang menyimpang), takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), tamtsil (Penyerupaan) dan ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).

Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah.


Beliau rahimahullah adalah orang yang sangat kuat beribadah, beliau senantiasa membagi malam menjadi 3 bagian, sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga terakhir untuk tidur.

Wafatnya

Beliau rahimahullah wafat di Mesir pada hari kamis (ada yang berkata hari Jum'at) pada hari terakhir bulan Rajab 204 H, umurnya ketika itu mencapai 54 tahun.

wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar