Sabtu, 19 Desember 2015

I'tikaf

A.         Pengertian I’tikaf Dan Hukumnya
1.          Pengertian.
I’tikaf dari segi bahasa berarti menetapi sesuatu dan memenjarakan diri padanya. Dalam istilah syar’I berarti berdiamnya seorang muslim yang mumayyiz di masjid sebagai bentuk ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

2.          Hukumnya.
I’tikaf hukumnya sunnah dan merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla.
Artinya: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". QS Al-Baqarah : 125
Ayat di atas merupakan dalil tentang pensyariatan I’tikaf yang bahkan juga telah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu. Firman Allah yang lainnya:
Artinya: ”Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. “ QS Al-Baqarah: 187
Dari Aisyah radhiallahu anha, ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh akhir bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkan-nya.” Muttafaq alaih.
Kaum muslimin telah menyepakati disyariat-kannya I’tikaf dan bahwasannya ia merupakan sunnah yang tidak diwajibkan kepada seseorang, kecuali ia mewajibkan atas dirinya sendiri, seperti bernadzar. Ketetapan sunnahnya I’tikaf dan disyariatkannya dengan dasar Al-Qur’an, sunnah dan ijma’.

B.         Syarat-Syarat I’tikaf

I’tikaf adalah ibadah yang memiliki syarat-syarat yang mana ia tidak sah kecuali terpenuhinya beberpa syarat berikut, antara lain:
Muslim yang mumayyiz dan berakal. Tidak sah I’tikafnya seorang yang kafir, orang gila atau pun anak kecil yang belum mumayyiz. Adapun usia baligh dan laki-laki tidak menjadi syarat I’tikaf. Maka I’tikaf yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh sah, jika ia telah mumayyiz, demikian pula wanita.
Niat. Sabda Rasulullah, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya.” Muttafaq alaih.
Maka seorang yang beri’tikaf meniatkan berdiamnya dia di masjid untuk beribadah kepada Allah azza wa jalla.
Tempat I’tikaf adalah masjid. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
Artinya: “Dan kamu sedang beri’tikaf di masjid.” QS Al-Baqarah:187
Demikian pula Rasulullah shallallahu alaih wa sallam beri’tikaf di masjid dan tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau pernah beri’tikaf selain di masjid.
Masjid untuk shalat jamaah. Yaitu masjid yang digunakan untuk beri’tikaf adalah masjid yang digunakan untuk menunaikan shalat jama’ah. Hal itu apabila masa beri’tikaf mencakup waktu-waktu shalat fardu dan mu’takif (orang yang beri’tikaf) termasuk orang yang wajib mendirikan shalat fardhu secara berjama’ah. I’tikaf di masjid yang tidak didirikan padanya shalat jama’ah akan menyebabkan mu’takif meninggalkan kewajiban shalat berjama’ah, padahal hal itu wajib atasnya. Atau dapat menyebabkan keluarnya mu’takif dari masjid secara berulang-ulang dan hal ini meniadakan tujuan dari I’tikaf. Adapun wanita, maka sah baginya melaksanakan I’tikaf di masjid yang ditunaikan padanya shalat jama’ah atau tidak. Hal tersebut apabila I’tikafnya wanita tersebut tidak menyebabkan fitnah. Namun apabila dapat menimbulkan fitnah, maka hendaknya dilarang. Dan yang utama adalah beri’tikaf di masjid yang ditunaikan di dalamnya shalat Jum’at. Akan tetapi hal itu bukan syarat I’tikaf.
Bersih dari hadats besar. Maka I’tikafnya orang yang junub tidak sah. Tidak pula sah bagi orang haidh dan nifas. Sebab orang yang berhadats besar tidak boleh tinggal di dalam masjid.
Adapun puasa, bukanlah syarat sah I’tikaf. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasannya Umar berkata, “Yaa Rasulullah, sesungguhnya pada masa jailiyah aku bernadzar untuk beri’tikaf satu malam di masjidil Haram.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikan nadzarmu.” Muttafaq alaihi
Jika puasa menjadi syarat, maka tidaklah sah I’tikafnya Umar bin Khattab pada malam itu, sabab dia tidak berpuasa. Juga karena puasa dan I’tikaf adalah dua ibadah yang terpisah, maka yang satunya tidak menjadi syarat akan adanya yang lain.

C.         Masa I’tikaf, Sunnah-Sunnah-nya dan Apa Yang Boleh Bagi Mu’takif

1.          Waktu dan masa beri’tikaf
Tinggal di masjid selama beberapa waktu adalah rukun I’tikaf. Maka jika tidak adanya menetap di masjid, maka tidak dihitung sebagai I’tikaf. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang batas minimal waktu menetap di masjid. Adapun yang shahih –insyaallah- adalah tidak ada batas waktu minimalnya. Maka I’tikaf sah dalam beberapa ukuran waktu, meskipun sejenak. Akan tetapi, yang lebih utama adalah tidak kurang dari sehari atau semalam. Sebab tidak ada dalil yang diriwayatkan dari Rasulullah dan para sahabatnya yang kurang dari itu.
Waktu I’tikaf yang paling utama adalah sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Sebagaiman hadits Aisyah yang telah lalu, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga Allah mewafatkan beliau.” Muttafaq alaih.
Namun bila seseorang beri’tikaf di luar waktu tersebut, boleh. Akan tetapi hal itu menyelisihi yang lebih utama.
Barangsiapa yang berniat untuk beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, maka shalat subuhnya ditunaikan pada hari ke 21 di masjid yang ia niatkan untuk beri’tikaf. Kemudian ia memulai I’tikafnya, dan mengakhirinya saat matahari terbenam di hari terakhir Ramadhan.
2.          Sunnah-sunnahnya
I’tikaf adalah ibadah seorang hamba untuk menyendiri dengan Tuhannya. Memutuskan hubungan dengan selain Allah. Maka disunnahkan kepada mu’takif untuk mengosongkan waktunya hanya untuk beribadah, dengan memperbanyak shalat, dzikir, doa, membaca Al-Qur’an, taubah, istighfar dan ibadah-ibadah lainnya yang merupakan bentuk ketaatan kepada Allah. 
3.          Hal-hal yang boleh dilakukan oleh mu’takif.
Dibolehkan untuk mu’takif untuk keluar masjid untuk menunaikan hal yang harus dilakukan. Seperti keluar untuk makan dan minum, bila tidak ada yang membawakan makanan atau minuman untuknya. Contoh yang lain yaitu keluar untuk menunaikan hajat, berwudhu dengan menghilangkan hadats atau mandi janabah.
Dibolehkan pula untuk berbincang dengan manusia dalam hal yang bermanfaat, bertanya tentang keadaan mereka. Adapun mengobrol dalam hal yang tidak bermanfaat atau tidak penting, maka yang semisal ini menafikan tujuan I’tikaf dan hal-hal yang disyariatkan di dalamnya. Dibolehkan pula ia dikunjungi oleh keluarga dan kerabatnya, mengobrol sejenak dan keluar untuk mengantar keluarganya. Sebagaimana hadits Shafiyah radhiallahu anha, beliau berkata, “Pernah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beri’tikaf, lalu aku mendatanginya pada suatu malam. Aku mengobrol dengannya, lalu aku berdiri dan pulang. Maka beliau mengantarku pulang.” Muttafaq alaihi

D.       Pembatal I’tikaf
Keluar dari masjid tanpa kebutuhan dengan sengaja, meskipun cuma sebentar. Sebagaimana hadits Aisyah radhiallahu anha, “Rasulullah tidak masuk rumah kecuali untuk suatu kebutuhan, apabila beliau sedang I’tikaf.” HR Bukhari 2029. Dan hal ini karena meninggalkan rukun I’tikaf, yaitu tinggal di masjid.
Jima’. Meskipun di malam hari atau berjima’ di luar masjid. Allah ta’ala  berfirman: “Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.” QS Al-Baqarah: 187
Termasuk dalam makna jima’ di sini adalah keluarnya air mani karena onani/masturbasi dan mencumbui istri di tempat selain kemaluan.
Hilangnya akal. I’tikaf menjadi rusak karena gila atau mabuk, sebab orang gila dan mabuk tidak termasuk ahli ibadah.
Haidh dan nifas. Sebab haidh dan nifas tidak diperbolehkan untuk tinggal di masjid.
Murtad. Sebab dinafikannya ibadah darinya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
لَإِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
Artinya: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalmu” QS Az-Zumar:65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar