A.
Pengertian
Puasa (shaum) adalah menahan diri dari makan dan
minum dan hal-hal yang membatalkan puasa disertai dengan niat dan dimulai sejak
terbitnya fajar shadiq (kedua) hingga terbenamnya matahari.
Puasa Ramadhan yakni puasa yang dilakukan oleh kaum
muslimin setiap bulan Ramadhan.
B.
Hukum Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan hukumnya wajib dilaksana-kan oleh setiap orang
Islam yang berakal, baligh, mampu, berada di tempat tinggalnya (tidak sedang
dalam perjalanan/safar) dan bersih dari haidh dan nifas.
Allah tabaraka wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: "Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" QS. Al
Baqarah : 183.
شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: "Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang haq dengan yang bathil ), karena itu barangsiapa diantara kamu menyaksikan
(masuknya bulan ini ), maka hendaklah ia berpuasa. " QS. Al-Baqarah :
185.
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
( بُنِيَ الإسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ
: شَهَادَةُ أنْ لَا إلهَ إلَّا الله وأنَّ محمدًا رسول الله وإيْتَاءِ الزَّكَاةِ
وَالْحج وصَوْمِ رَمَضان ) رواه البخاري ومسلم
“Islam didirikan di atas lima perkara :
Bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad itu
adalah utusan Allah, mendirikan shalat mengeluarkan zakat, berhaji dan shaum di
bulan Ramadhan.” HR.Bukhari dan Muslim.
Diriwayatkan dari
Thalhah bin ' Ubaidillah radhiallahu anhu, bahwa sesungguhnya ada seorang
bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ia berkata, “Wahai
Rasulullah beritakan kepadaku puasa yang diwajibkan oleh Allah atas diriku”.
Beliau bersabda, “Puasa Ramadhan”. Lalu orang itu bertanya lagi, “Adakah shaum lain yang diwajibkan atas
diriku ?”. Beliau bersabda, “Tidak ada, kecuali bila engkau puasa sunnah.
" HR Bukhari dan Muslim
C.
Keutamaan dan Hikmah
Puasa Ramadhan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang
berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.” HR Bukhari dan Muslim
إنَّ فِيْ
الجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ
القِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُوْنَ
فَيَقُوْمُوْنَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلوْا أُغْلِقَ
فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di surga
ada satu pintu yang bernama Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan masuk ke
surga melalui pintu itu. Tidak ada yang memasukinya, kecuali mereka. Dikatakan,
“mana orang-orang yang berpuasa?” Maka mereka pun berdiri dan tidak ada yang
masuk melalui pintu itu, selain mereka. Jika mereka semua masuk, pintu itu pun
ditutup dan tidak ada yang masuk melaluinya, kecuali mereka.” HR Bukhari dan Muslim
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِيْ
أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ.
“Fitnah
seseorang di dalam keluarganya, hartanya dan tetangganya diampuni dengan
shalat, puasa dan sedekah.” HR Bukhari
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ
اللهِ إلَّا بَاعَدَ اللهُ بِذلِكَ الْيَوْم وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا
“Tidak ada seorang hamba
pun yang berpuasa sehari di jalan Allah, kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya
dari neraka sejauh tujuh puluh tahun.” HR Bukhari dan Muslim
Dari abu Hurairah radhiallahu
anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang mendirikan shalat pada malam Lailatul Qadr, karena keimanan dan
mengharapkan pahala, maka diampuni segala dosa-dosanya yang telah berlalu. Dan
barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala,
maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Muttafaqun alaih
Dari Abu Hurairah pula,
bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Shalat 5 waktu,
antara jum’at ke jum’at dan dari Ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus
dosa-dosa diantaranya, apabila dosa-dosa besar dijauhi.”
Pada
hadits-hadits di atas
terdapat sebagian keutamaan puasa Ramadhan. Adapun diantara hikmah-hikmahnya,
antaralain:
1.
Pensucian jiwa dari
hal-hal yang buruk dan akhlaq yang hina. Sebab puasa mempersempit aliran darah
yang merupakan tempat peredaran setan di dalam tubuh manusia.
2.
Puasa melatih untuk
zuhud terhadap dunia dan syahwat dan memberikan semangat untuk mengajar
kebaikan dan kenikmatan di akhirat.
3.
Puasa mengajarkan kita
untuk merasakan penderitaan orang-orang miskin. Dan banyak hikmah lainnya.
D.
Rukun Puasa
Imsak,
yaitu menahan diri dari
hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar, hingga terbenamnya
matahari di hari itu.
Waktu imsak adalah waktu seseorang mulai manahan diri dari segala yang
dapat membatalkan puasa. Waktu ini dimulai sejak terbitnya fajar shadiq
dan ditandai dengan dikumandangkannya adzan subuh.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
4
(#qè=ä.ur
(#qç/uõ°$#ur
4Ó®Lym
tû¨üt7oKt
ãNä3s9
äÝøsø:$#
âÙuö/F{$#
z`ÏB
ÅÝøsø:$#
ÏuqóF{$#
z`ÏB
Ìôfxÿø9$#
(
¢OèO
(#qJÏ?r&
tP$uÅ_Á9$#
n<Î)
È@ø©9$#
“Dan makan dan minumlah kamu hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Lalu sempurnakanlah puasamu hingga
malam hari” QS. Al Baqarah : 187
Ammar Ibnu Abi
Ammar berkata, ‘Dan dulu muadzin mengumandangkan adzan jika telah terbit fajar.’ HR. Imam Ahmad 2/510, Ibnu Jarir, dan
Al Baihaqi
Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di waktu
malam, maka makan dan minumlah kamu hingga mendengar adzannya Ibnu Ummi Maktum
karena ia (Ibnu Ummi Maktum) tidak mengumandangkan adzan sampai terbit fajar.” HR Bukhari dan
Muslim
Dalam hadits di atas disebutkan ada dua adzan pada subuh hari, yaitu
adzannya bilal (fajar kadzib) dan
adzannya Ibnu Ummi Maktum (fajar shadiq).
Maka jelaslah dalam hadits ini bahwa syariat masuknya waktu imsak adalah
saat masuknya waktu shalat subuh yang ditandai dengan adzan. Kecuali apabila
seseorang masih belum menghabiskan makanan di piringnya atau minuman di gelas
yang hendak dia minum, maka boleh menghabiskannya, selama tidak berlebihan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, “Jika salah seorang di antara kamu
mendengar adzan sedangkan ia masih memegang piring (makan) maka janganlah ia
meletakkannya sehingga ia menyelesaikan hajatnya (makannya).” HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim .
Pada waktu iqamat
dikumandangkan, Umar masih memegang gelas. Ia (Umar) bertanya : “Apakah saya
masih boleh minum, ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Ya (boleh).” Kemudian
Umar minum. HR. Ibnu Jarir
“Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam untuk adzan shalat shubuh padahal beliau akan berpuasa. Kemudian beliau
meminta gelas untuk minum. Setelah itu beliau mengajakku untuk minum dan kami
keluar untuk shalat.” HR Ibnu Jarir dan Ahmad
Niat sebelum terbit fajar. Wajib
bagi orang yang berpuasa untuk meniatkan puasanya. Niat merupakan rukun puasa.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amalan itu tergantung
niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”
Muttafaq alaihi
Puasa
yang wajib diniatkan sejak malam, meskipun satu menit sebelum terbitnya fajar,
seperti puasa Ramadhan, puasa Kaffarat dan puasa Nadzar .
Niat puasa di sini yaitu menentukan bahwa besok akan melakukan puasa untuk beribadah kepada Allah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, artinya: "Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam
hari sebelum (terbit fajar) Maka tidaklah sah puasanya". HR Ahmad dan
Abu Dawud
Seorang yang hendak berpuasa maka harus menentukan bentuk
puasanya ketika berniat, sebab niat membedakan antara satu ibadah dengan ibadah
lainnya. Maka jika ia hendak berpuasa Ramadhan, hendaklah ia menentukan bentuk
puasanya tersebut di dalam niat. Dan sangat penting diketahui bahwa niat adalah
amalan hati dan tempatnya di hati, bukan di lidah. Jika telah diniatkan di
hati, maka itu sudah kuat, tanpa harus dilafadzkan.
D.
Syarat Wajib Puasa
Muslim. Maka puasanya orang kafir tidak diterima. Dan jika ia
masuk Islam, maka tidak perlu mengganti puasa yang ia tinggalkan semasa kafir.
Berusia baligh. Maka seorang anak kecil yang belum baligh, tidak
wajib berpuasa. Akan tetapi puasanya sah apabila dia berpuasa.
Berakal. Maka tidak wajib bagi orang gila atau pikun dan
semisalnya untuk melaksanakan puasa Ramadhan.
Sehat. Maka orang yang sakit
tidak wajib puasa, sampai ia sembuh. Namun apabila ia berpuasa, maka puasanya
sah. Jika ia meninggalkan puasanya karena sakit yang melemahkan tubuhnya,
sehingga ia tidak dapat berpuasa, maka ia wajib menggantinya pada hari-hari
yang lain, di luar bulan Ramadhan. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: “Maka barangsiapa yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” QS Al-Baqarah:
184
Berada di tempat tinggalnya. Orang yang safar
(berada dalam perjalanan jauh) maka tidak boleh berpuasa apabila dapat
menimbulkan bahaya pada dirinya karena puasanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
:
( `tBur tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3
“Maka barangsiapa yang sakit atau berada dalam perjalanan,
maka hendaknya ia mengganti puasanya di hari-hari yang lain.” QS Al Baqarah
: 185.
Namun apabila berpuasa tidak membahaya-kan dirinya
atau tidak terdapat kesulitan yang berat jika ia berpuasa, maka lebih utama
baginya untuk berpuasa.
رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
أنَّ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرُو الأسْلَمِي قَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ أأصُوْمُ فِيْ السَّفَرِ
؟ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ : إنْ شِئْتَ فَصمْ وَإنْ شِئْتَ فَافْطِرْ
Aisyah
radhiallahu anha meriwayatkan bahwa Hamzah bin Amr Al-Aslami berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah aku boleh berpuasa ketika safar?”. Rasulullah alaihish
sholatu was salaam bersabda, “Jika kamu mau berpuasalah, dan jika kamu
mau, berbukalah.” Muttafaq alaih
وَقَالَ أَنَسٌ : كُنَّا
نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ ,
فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ وَلَا المُفْطِرِ عَلَى الصَّائِمِ
Anas radhiallahu anhu
bertutur, bahwa, “Kami pernah bersafar bersama Nabi shallallahu alaihi
wa sallam. Orang yang berpuasa tidaklah mencela yang tidak berpuasa, dan
yang tidak berpuasa tidak pula mencela yang berpuasa.” Muttafaq ‘alaihi
فَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الخُدْرِي قَالَ : كُنَّا نَغْزُوْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ فِيْ رَمَضَانَ فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا
المُفْطِرُ فَلَا يَجِدِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ وَلَا المُفْطِرِ عَلَى الصَّائِمِ
يَرَوْنَ أنَّ مَنْ وَجَدَ قُوَّةً فَصَامَ فَإِنَّ ذلِكَ حَسَنٌ وَيَرَوْنَ أنَّ
مَنْ وَجَدَ ضَعْفًا فَأَفْطَرَ فَإِنَّ ذلِكَ حَسَنٌ
Dari
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu, dia berkisah, bahwa, “Kami pernah
berangkat berperang bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan. Diantara kami ada
yang sedang berpuasa dan ada yang tidak. Tidaklah orang yang berpuasa mencela orang
yang tidak berpuasa dan tidak pula orang yang berbuka mencela orang yang
berpuasa. Mereka melihat bahwa orang yang kuat,
maka berpuasa
dan itu baik. Dan mereka juga melihat bahwa orang yang merasa
tidak kuat, maka mereka berbuka dan itu pun baik.” HR Muslim
“Dari Abu Darda radhiallahu anhu, ia bercerita,
“Kami pernah mengadakan perjalanan bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan yang
sangat panas, sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya di
atas kepalanya karena panas yang menyengat. Tidak ada yang berpuasa diantara
kami kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.” Muttafaq ‘alaihi
Safar yang diperbolehkan padanya berbuka adalah safar yang
mubah (boleh). Adapun safar yang tujuannya adalah maksiat atau safar yang
sekedar mencari alasan untuk berbuka, maka tidak dihalalkan untuk berbuka.
Akan
tetapi pembolehan ini dengan syarat tidak adanya kesulitan yang berat dalam
perjalanannya. Jika ada kesulitan yang berat atau dapat menimbulkan mudharat
kepada musafir, maka tidak berpuasa lebih utama. Mengambil rukhshah.
Sebab Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada suatu safar melihat seorang
pria telah dinaungi sebab panasnya matahari dan manusia berkumpul disekitarnya.
Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak termasuk
kebaikan, berpuasa saat safar.” HR Bukhari no.1946
Bersih dari haidh dan nifas. Adapun wanita yang
sedang haidh atau nifas, maka tidak sah bagi mereka untuk berpuasa. Jika wanita
mendapatkan haidh atau nifas saat sedang berpuasa, maka batallah puasanya.
Sebagaimana Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
ألَيْسَ إذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ فَذلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا
“Bukankah jika wanita
haidh, maka ia tidak shalat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan agamanya.” HR
Bukhari
Aisyah radhiallahu
anha bertutur, “Kami (wanita) dahulu diperintahkan untuk mangganti puasa
dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.” HR Muslim
Adapun orang tua yang tidak lagi kuat untuk melaksanakan
puasa atau orang sakit yang tidak ada harapan lagi untuk sembuh, maka tidak
wajib bagi mereka berpuasa. Sebagaimana firman Allah:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ
فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya, “Dan Allah
tidaklah menjadikan atas kalian kesulitan di dalam agama ini.” QS Al-Hajj:
78
Dan
wajib bagi mereka berfidyah dengan memberi makanan (bukan uang)
untuk
satu orang miskin setiap satu hari yang ditinggalkan. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, bahwa Anas bin Malik tidak berpuasa setahun
sebelum meninggalnya disebabkan kelemahan karena usia tua. Maka ia
memerintahkan keluarganya membuatkan makanan untuk orang miskin dengan hitungan
satu orang miskin dalam sehari.
Ibnu
Abbas radhiallahu anhu berkata, “Apabila seorang yang sudah tua tak lagi
mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan setiap hari dengan satu mud.”
Diriwayatkan oleh Ad Daruqutni dengan sanad yang shahih. Dan orang sakit yang
tidak ada harapan kesembuhannya termasuk
dalam makna orang tua yang lemah. Jika keduanya tidak mampu membayar fidyah,
maka tidak ada kewajiban apa-apa bagi mereka. Allah ta’ala berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya: “Allah tidak
membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” QS Al-Baqarah:
286
Adapun
dengan orang hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keselamatan dirinya, maka
ini disamakan hukumnya dengan orang sakit, boleh berbuka dan mengganti puasanya
pada hari-hari yang lain.
إنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ
وَضَعَ عَنْ المُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الحُبْلَى وَالمُرْضِعِ
الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah
memberikan keringanan bagi musafir pada puasa dan setengah shalatnya, dan bagi
wanita hamil dan menyusui dengan puasa.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud,
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasai dan di hasankan At Tirmidzi.
Adapun
jika orang hamil berbuka disebabkan mengkhatirkan keselamatan bayinya, maka
maka boleh berbuka dan membayar fidyah. Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata,
“ wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka tidak
berpuasa dan memberi makan seorang miskin.” HR Abu Dawud, dishahihkan oleh
syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil.
Begitupula
Ibnu Umar ketika ditanyakan hal serupa, beliau menjawab, “Hendaklah ia berbuka
dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Artinya : “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin.” QS Al-Baqarah: 184
Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini telah dihapus dan
tinggallah keringanan itu untuk untuk orang tua dan orang lemah, serta wanita
hamil dan menyusui apabila keduanya mengkhawatirkan keselamatan bayinya, maka
mereka berbuka dan member makan satu orang miskin setiap harinya.” An Nawawi
berkata, “Abu Dawud meriwayatkannya dengan sanad shahih.”
Kesimpulan
dari pembahasan pada bagian ini adalah syarat wajibnya berpuasa apabila
seseorang tersebut muslim, berusia baligh, berakal, sehat, berada di tempat
tinggalnya, serta bersih dari haidh dan nifas. Adapun sebab bolehnya seorang tidak
berpuasa Ramashan ada empat hal, yaitu : safar, penyakit, haidh dan nifas
demikian pula mengkhawatirkan keselamatan dirinya seperti pada orang hamil dan
menyusui.
E.
Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa
Seseorang yang membatalkan puasanya selain karena haid dan
nifas, tidak dikatakan membatalkan puasanya kecuali dengan tiga syarat;
Hendaknya dalam keadaan mengerti, bukan karena tidak tahu; dalam keadaan ingat,
bukan sedang lupa; dan dengan keinginan sendiri, bukan dipaksa. Adapun beberapa
pembatal puasa, antaralain:
Sengaja makan dan minum. Tapi jika seorang yang berpuasa makan atau minum karena
lupa maka puasanya tidak batal, dan dia harus menghentikan makan minumnya saat
ingat, lalu melanjutkan puasanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
إذَا أكَلَ أَحَدُكُمْ أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang lupa, lalu ia makan atau minum
padahal ia sedang puasa, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya.
Sesungguhnya Allahlah yang memberinya makan dan minum.” HR Bukhari dan
Muslim
Bersenggama. Barangsiapa yang bersetubuh pada siang hari bulan
Ramadhan, maka puasanya batal. Dia harus beristghfar dan bertaubat kepada
Allah. Selain dia wajib mengganti puasanya tersebut di hari lain (di luar
Ramadhan), wajib pula baginya membayar kafarat, yaitu membebaskan budak,
jika ia tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika keduanya
betul-betul tidak mampu dilakukan, maka ia boleh membayar dengan memberikan
makanan kepada 60 orang miskin.
Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan
bahwa suatu ketika mereka duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam. Lalu datanglah seorang pria dan berkata, “Celakalah aku wahai
Rasulullah.” Rasulullah bertanya, “Ada apa denganmu?” Orang itu lalu
berkata lagi, “Saya telah bersetubuh dengan istriku padahal saya sedang
berpuasa.” Rasulullah bersabda, “Apa kamu bisa membebaskan seorang budak?”
Dia berkata, “ tidak.” Rasulullah bertanya lagi, “Apa kamu mampu berpuasa
dua bulan berturut-turut?” Pria iu menjawab, “ Tidak.” Lalu Rasulullah
bertanya lagi, “Apa kamu mampu memberi makan kepada 60 orang miskin?”
Orang itu menjawab lagi, Tidak.” Maka Rasululah pun terdiam. Pada saat kami
dalam keadaan seperti itu, ada seseorang yang datang membawa sekeranjang kurma.
Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “ Mana pria
yang bertanya tadi?”. Pria itu menjawab, “Saya.” Rasulullah bersabda, “Ambillah
ini dan bersedekahlah dengannya.”
Lalu pria itu berkata, “Apakah saya harus bersedekah kepada orang yang
lebih miskin dari saya? Demi Allah tidak ada keluarga yang lebih miskin di
kampug ini melebihi miskinnya keluargaku. Maka Rasuliullah pun tertawa hingga
nampak gigi gerahamnya. Lalu beliau bersabda, “Berikanlah makan keluargamu
dengan kurma ini.” Muttafaqun Alaih
Perempuan yang wajib puasa jika disetubuhi oleh suaminya
pada siang hari Ramadhan dengan kerelaannya maka hukum baginya adalah sama
dengan hukum suaminya.Tetapi jika ia dipaksa maka ia harus berusaha menolaknya,
dan ia tidak wajib membayar kaffarat karenanya.
Memasukkan sesuatu yang mengenyangkan melalui
kerongkongan, hidung, dubur, dll.
Termasuk dalam hal ini adalah suntikan vitamin yang mengenyangkan.
Mengeluarkan mani baik karena onani, bersentuhan, ciuman, atau sebab
lainnya dengan sengaja. Sebab yang demikian adalah pelampiasan nafsu yang
membatalkan puasa. Maka hal ini mewajibkan untuk mengganti puasa tanpa harus
membayar kafarat. Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
إنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِيْ
مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَالَمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Allah memaafkan bagi umatku apa-apa yang terbetik di
dalam benaknya, selama mereka tidak mengucapkannya atau mengerjakan-nya.” HR Muslim
Muntah dengan sengaja. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang muntah
(dikalahkan oleh muntahnya) maka tidak wajib banginya mengganti. Dan
barangsiapa yang sengaja mengeluarkan muntahnya, maka hendaknya dia mengganti
puasanya.” HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani.
Berbekam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
أفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُوْمٌ
“Telah berbuka orang yang
dibekam dan yang membekam.” HR Tirmidzi dan Baihaqi, dishahihkan Imam Ahmad,
Ibnul Madini dan Ad Darimi.
Orang yang berniat untuk berbuka. Hal ini disebabkan niat
merupakan syarat puasa yang harus tetap ada hingga berbuka. Maka apabila niat
telah batal, maka batallah puasanya, wallahu a’lam.
Haidh dan nifas. Maka wanita yang haidh
dan nifas di bulan Ramadhan, wajib berbuka dan haram berpuasa. Jika ia
berpuasa, maka tidak sah puasanya, sebagaimana pembahasan yang telah lalu di
atas.
Jika wanita melihat lendir putih dan dia tahu bahwa ia
telah suci maka ia wajib meniatkan puasa sejak malam. Jika ia tidak mengetahui
tentang status kesuciannya maka hendaknya ia mengusapnya dengan kapas atau
sejenisnya. Jika kapas itu dikeluarkan dalam keadaan bersih maka ia berpuasa.
Dan seorang wanita yang haid atau nifas, jika darahnya berhenti pada malam hari
lalu niat puasa, kemudian terbit fajar sebelum ia mandi maka menurut segenap
ulama, puasanya adalah sah.
Wanita yang mengetahui bahwa kebiasaan haidnya adalah besok
misalnya, maka ia tetap harus dalam niat puasa, dan tidak boleh berbuka sampai
ia melihat ada darah.
Paling utama bagi wanita haid adalah menerima sunnatullah
pada dirinya, ridha dengannya dan tidak mencari jalan untuk menghentikan haid
pada bulan Ramadhan.
Jika wanita hamil keguguran, dan janinnya telah berbentuk
maka ia dalam keadaan nifas dan tidak boleh berpuasa. Jika belum berbentuk maka
ia adalah darah istihadhah (penyakit) dan wajib berpuasa jika ia mampu.
Orang yang nifas jika telah suci sebelum 40 hari maka ia harus puasa dan mandi
untuk shalat. Dan jika lebih dari 40 hari maka ia niat puasa dan mandi serta
darah yang keluar dianggap darah istihadhah.
Peringatan bagi orang yang meninggalkan puasa tanpa alasan. Diriwayatkan
oleh Abu Umamah Al Bahili, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada
dua orang yang datang dan memegang pangkal lenganku dan membawaku ke sebuah
gunung yang tinggi seraya berkata: "naiklah!" aku berkata: "aku
tidak bisa", keduanya berkata lagi: "kami akan memberi kemudahan
kepadamu", lalu akupun naik sampai ke pertengahan, tiba-tiba terdengar
suara keras. Aku bertanya: "Suara apa itu?" Mereka menjawab:
"Itu suara teriakan penghuni Neraka" Kemudian mereka membawaku
mendaki lagi, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang yang digantung dengan urat
belakang mereka, dari pinggiran mulutnya mengeluarkan darah. Aku bertanya:
"Siapakah mereka?" Dijawab: "Mereka adalah orang-orang yang
berbuka puasa (pada) bulan Ramadhan sebelum tiba waktunya". (HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
F.
Sunnah-sunnah puasa Ramadhan
Sahur. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ
“Bersahurlah, karena ada berkah di dalam sahur
itu.” Muttafaq ‘alaihi
فَصْلٌ مَا بَيْنَ صِيَامنَا وَصِيَام أهلِ الكِتَابِ
أكْلَةُ السَّحُوْرِ
“Pemisah antara puasa kami dan puasanya ahlul
kitab adalah makanan sahur.” HR Muslim dan Tirmidzi, dia berkata, “hadits
hasan shahih”
Seorang pembesar tabi’in yang bernama ‘Amr bin Maimun berkata, “Para
sahabat Nabi Muhammad adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling
lambat bersahur.” Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi
Segera berbuka jika telah tiba waktunya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersada,
لَا
يَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
“Umatku
akan senantiasa dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka.” HR
Bukhari
Rasulullah meriwayatkan
dari Rabb-nya tabaaraka wa ta’ala
يقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أحَبُّ عِبَادِيْ
إلَيَّ أسْرَعُهُمْ فِطْرًا
“Allah
ta’ala berfirman, “Hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah yang paling
segera berbuka.” At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan gharib.”
Berbuka dengan Ruthab (kurma muda yang mulai
menguning), jika tidak ada maka dengan kurma kering, jika tidak ada maka dengan
air.
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلْيُفْطِرْ
عَلَى التَّمْرِ فَإنْ لَمْ يَجِدْ التَّمْرَ فَعَلَى المَاءِ فَإنَّ المَاءَ طَهُوْرٌ
“Jika
salah seorang diantara kalian berpuasa, maka hendaklah ia berbuka dengan kurma.
Jika ia tidak mendapat kurma, maka dengan air, sesungguhnya air itu suci.”
HR Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits hasan shahih.”
Membaca doa berbuka puasa.
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ العُرُوْقُ وَثَبَتَ الأجْرُ إِنْ
شَاءَ اللهُ
“Telah
hilang rasa haus, telah basah urat-urat dan telah tetap pahala, insyaallah.”
HR Abu Daud, An-Nasai, Al-Hakim, Ad-Daruqutni, dan dia berkata, “isnadnya
hasan”
Memberi sajian buka puasa. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ
صَائِمًا فَلَهُ مِثْلُ أجْرِهِ وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءً
"Barangsiapa yang memberi
makanan buka puasa kepada orang yang berpuasa, maka dia mendapatkan pahala
seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.” HR Tirmidzi, dia
berkata, “Hadits hasan shahih.”
G.
Hal-Hal Yang Boleh Ketika Berpuasa
-
Bersiwak, bahkan hukumnya sunnah
-
Mandi untuk mendinginkan badan
-
Mencicipi makanan tanpa menelan, bagi yang
membutuhkan.
- Bercelak mata
-
Mencium bagi yang mampu menjaga syahwat. Aisyah Radhiallahu
anha ditanya tentang apa saja yang boleh dilakukan bagi orang yang berpuasa
kepada istrinya, beliau menjawab, “Semuanya boleh dilakukan selain jima’.” HR
Abdur Razak dengan sanad shahih di dalam bukunya Al-Mushannaf.
-
Berkumur, istinsyaq dan istintsar
H.
Hal-Hal Dibenci (Makruh)
Saat Berpuasa
Beberapa hal berikut ini
dapat mencederai puasa dimakruhkan dan dapat mengurangi pahala puasa,
antaralain:
Berlebih-lebihan dalam berkumur-kumur
dan beristinsyaq. Dikhawatirkan hal ini dapat membuat air masuk ke
kerongkongan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Berlebih-lebihanlah
dalam beristinsyaq, kecuali engkau sedang puasa.” Tirmidzi no. 788, Nasai
1/no. 66, Ibnu Majah 407 dan dishahihkan Al-Albani
Mencium istri, jika membangkitkan
syahwatnya, dan dia tidak termasuk orang yang dapat menjamin dirinya (untuk tidak
mengikuti syahwatnya.) Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk mencium istri
atau budaknya, sebab dapat menimbulkan gejolak syahwat yang dapat merusak
puasanya dengan keluarnya mani atau berjima. Apabila dia mampu menjamin
keamanan dirinya dari rusaknya puasanya, maka tidak mengapa. Sebab Nabi shallallahu
alaihi wa sallam pernah mencium istrinya saat beliau sedang berpuasa.
Aisyah radhiallahu anha berkata,
“Dan beliau adalah orang yang paling mampu diantara kalian dalam menahan
gejolak nafsunya.” Muttafaq alaih.
Wajib pula atas orang
yang tidak mampu menahan syahwatnya untuk menjauhi segala hal yang dapat
membangkitkan atau menggerakkan syahwatnya. Seperti berlama-lama memandangi
istri atau budaknya, atau memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan jima’. Sebab
hal itu akan berakibat keluarnya mani atau berjima’.
Menelan dahak atau ingus. Sebab ludahnya akan
sampai ke tenggorokan dan memperoleh kekuatan darinya, dan disamping hal itu
adalah menjijikkan dan berbahaya.
Mencicipi makanan tanpa
dibutuhkan. Apabila ia perlu untuk mencicipinya, karena dia adalah
tukang masak yang perlu mengetahui rasa garam atau yang lainnya, maka tidak
mengapa. Asal ia berhati-hati jangan sampai ada yang masuk ke tenggorokannya.
I.
Beberapa Kesalahan Orang Yang Berpuasa
Sebagian orang yang sedang berpuasa kadang terjatuh di dalam beberapa
kesalahan yang menyebabkan berkurangnya pahala yang dia peroleh. Juga dapat
berpengaruh pada kesempurnaan puasanya. Atau menyelisihi hal yang lebih utama
dilakukan oleh seorang muslim yang menginginkan pahala yang lebih sempurna dan
besar di sisi Allah.
Diantara kesalahan-kesalahan itu adalah:
Pertama, Tidak memahami hukum-hukum puasa. Hal ini
dapat menyebabkan ia terjatuh dalam dalam sebuah kesalahan, karena tidak
mengetahui hukumnya. Maka selayaknya seorang muslim mempelajari dan memahami
agama dan ibadah-ibadahnya, seperti puasa dan lainnya, sebelum mengamalkannya.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang Allah menghendaki kebaikan padanya, maka ia akan difahamkan tentang agama
ini.” Muttafaq alaihi
Kedua, Tidak
memiliki rasa malu kepada Allah. Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu
meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Malulah
kalian kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya.” Kami berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kami malu alhamdulillah.” Rasulullah bersabda,
“Bukan seperti itu, akan tetapi rasa malu yang sesungguhnya kepada Allah
adalah engkau menjaga kepalamu dan apa yang ada padanya, dan perut dari apa
yang disekitarnya, dan mengingat kematian dan cobaan. Barangsiapa yang
menginginkan kesenangan akhirat, ia meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa
yang telah melakukan itu, maka ia telah malu dengan malu yang sesungguhnya.”
HR Tirmidzi dalam kitab Shifatul Qiyamah no. 2457
Maksud dari menjaga kepala dan yang ada padanya adalah menjaganya dari
perbuatan-perbuatan selain ketaatan kepada Allah. Seperti kesyirikan dengan
bersujud kepada selain Allah, dan lainnya. Juga menjaganya penglihatan mata,
ucapan lisan dan pendengaran telinga.
Maksud dari menjaga perut dan sekitarnya adalah menjaganya dari makanan
haram. Juga menjaga yang ada disekitarnya, seperti kemaluan, kedua tangan dan
kaki, serta hati.
Ketiga, Berlebih-lebihan dan mubadzir. Allah ta’ala berfirman:
tûïÏ%©!$#ur !#sÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèùÌó¡ç öNs9ur (#rçäIø)t tb%2ur ú÷üt/ Ï9ºs $YB#uqs%
Artinya: “ Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” QS Al-Furqan :
67
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Makan,
minum , berpakaian dan bersedekahlah, selama tidak berlebih-lebihan atau
sombong.” HR Bukhari no. 5783.
Berlebih-lebihan atau mubadzir terkadang terjadi pada
takaran dan kadang pada cara.
Keempat, Memberatkan keluarga untuk membuat
makanan dan minuman yang banyak.
Kelima, Tidak makan sahur. Rasulullah shalla-llahu
alaihi wa sallam bersabda, “Sahurlah kalian, sebab pada sahur itu
terdapat berkah.”Muttafaq alaihi
Keenam, Tidak shalat subuh. Maka orang yang
melakukan hal ini dikhawatirkan tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya,
kecuali lapar dan dahaga semata.
Ketujuh, waktu siangnya lebih bayak dihabiskan
untuk tidur. Hal ini menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, yang mana beliau menjadikan malam sebagai waktu tidur dan siang
sebagai waktu mencari kehidupan. Orang yang melakukan hal ini meninggalkan
banyak kebaikan untuk dirinya, sebab beramal saat puasa lebih utama dibanding
saat tidak berpuasa, karena kemuliaan waktunya.
Kedelapan, menyia-nyiakan waktu dengan banyak tidur, mengobrol.
Demikian pula sibuk dengan berita-berita yang tidak ada manfaatnya, berteman
dengan orang-orang buruk perangainya dan berjalan-jalan, dan yang semisalnya.
Waktu seorang muslim adalah perlombaan dalam kebaikan dan dia lebih berlomba
lagi di bulan Ramadhan, disebabkan kemualiaan waktu dan tempatnya.
Kesembilan, tidak membaca Al-Qur’an dan menyibukkan diri darinya dan
kemuliaan pahalanya. Hal yang memalingkan manusia dari membaca Al-Qur’an adalah
banyak tidur, banyak melakukan hal yang sia-sia, banyak bermain, lalai dengan
kehidupan dunia, berteman dengan orang yang buruk peragainya, gelapnya hati,
sempitnya dada, dikuasai setan, banyak maksiat dan tipisnya iman.
Ramadhan adalah bulan dimana Allah menurun-kan Al-Qur’an
itu. Jibril mengajarkan Al-Qur’an kepada Rasulullah pada bulan Ramadhan. Para
sahabat Rasulullah radhiallahu anhum meninggalkan segala sesuatunya
untuk membaca dan memperlajari Al-Qur’an di bulan Ramadhan.
Kesepuluh, Tidak berdoa saat berbuka dan saat berpuasa. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya:
Pemimpin yang adil, orang berpuasa sampai berbuka, dan doanya orang yang
terdzalimi.” HR Tirmidzi no. 3598
Kesebelas, meninggalkan shalat Magrib di masjid dan sibuk dengan
hidangan buka puasa. Makanan tidaklah menyibukkan beliau dari shalat. Maka
sepantasnyalah seorang muslim mengikuti sunnah Nabi dalam berbuka dengan
beberapa biji kurma, lalu shalat berjama’ah.
Kedua belas, tidak shalat Tarawih, baik bersama imam setelah shalat Isya atau shalat
sendirian di rumahnya. Shalat bersama imam lebih utama dari shalat sendirian.
Ketiga belas, begadang hingga larut malam. Hal ini membahayakan kesehatan
dan menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Keempat belas, Makan dan
minum saat muadzdzin sedang mengumandangkan adzan subuh, hingga akhir adzan.
Yang wajib adalah menahan (imsak) pada permulaan adzan, jika muadzdzin adzan
tepat waktu. Sebab adzan adalah tanda terbitnya fajar kedua.
Kelima belas, terlalu terburu-buru melaksanakan shalat Tarawih. Hal ini
menyebabkan cacatnya beberapa rukun dan kewajiban-kewajiban dalam shalat.
Mereka meninggalkan tuma’ninah dalam rukuk dan sujud, salah dalam
pengucapan huruf bacaan Al-Qur’an dan sebagainya, karena terburu-buru.
diterjemahkan dari Kitab Al-Fiqh Al-Muyassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar