Sabtu, 19 Desember 2015

Puasa Ramadhan



A.   Pengertian

Puasa (shaum) adalah menahan diri dari makan dan minum dan hal-hal yang membatalkan puasa disertai dengan niat dan dimulai sejak terbitnya fajar shadiq (kedua) hingga terbenamnya matahari.
Puasa Ramadhan yakni puasa yang dilakukan oleh kaum muslimin setiap bulan Ramadhan.

B.   Hukum Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan hukumnya wajib dilaksana-kan oleh setiap orang Islam yang berakal, baligh, mampu, berada di tempat tinggalnya (tidak sedang dalam perjalanan/safar) dan bersih dari haidh dan nifas.
Allah tabaraka wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" QS. Al Baqarah : 183.

 شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ  
Artinya: "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dengan yang bathil ), karena itu barangsiapa diantara kamu menyaksikan (masuknya bulan ini ), maka hendaklah ia berpuasa. " QS. Al-Baqarah : 185.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
( بُنِيَ الإسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أنْ لَا إلهَ إلَّا الله وأنَّ محمدًا رسول الله وإيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحج وصَوْمِ رَمَضان ) رواه البخاري ومسلم

 “Islam didirikan di atas lima perkara : Bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad itu adalah utusan Allah, mendirikan shalat mengeluarkan zakat, berhaji dan shaum di bulan Ramadhan.” HR.Bukhari dan Muslim.
Diriwayatkan dari Thalhah bin ' Ubaidillah radhiallahu anhu, bahwa sesungguhnya ada seorang bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah beritakan kepadaku puasa yang diwajibkan oleh Allah atas diriku”. Beliau bersabda, “Puasa Ramadhan”. Lalu orang itu bertanya lagi,  “Adakah shaum lain yang diwajibkan atas diriku ?”. Beliau bersabda, “Tidak ada, kecuali bila engkau puasa sunnah. " HR Bukhari dan Muslim

C.    Keutamaan dan Hikmah Puasa Ramadhan

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” HR Bukhari dan Muslim
  إنَّ فِيْ الجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ القِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُوْنَ فَيَقُوْمُوْنَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلوْا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
Sesungguhnya di surga ada satu pintu yang bernama Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan masuk ke surga melalui pintu itu. Tidak ada yang memasukinya, kecuali mereka. Dikatakan, “mana orang-orang yang berpuasa?” Maka mereka pun berdiri dan tidak ada yang masuk melalui pintu itu, selain mereka. Jika mereka semua masuk, pintu itu pun ditutup dan tidak ada yang masuk melaluinya, kecuali mereka.” HR Bukhari dan Muslim

  فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِيْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ.
Fitnah seseorang di dalam keluarganya, hartanya dan tetangganya diampuni dengan shalat, puasa dan sedekah.” HR Bukhari
  مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إلَّا بَاعَدَ اللهُ بِذلِكَ الْيَوْم وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا
“Tidak ada seorang hamba pun yang berpuasa sehari di jalan Allah, kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh tahun.” HR Bukhari dan Muslim
Dari abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendirikan shalat pada malam Lailatul Qadr, karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka diampuni segala dosa-dosanya yang telah berlalu. Dan barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Muttafaqun alaih
Dari Abu Hurairah pula, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Shalat 5 waktu, antara jum’at ke jum’at dan dari Ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus dosa-dosa diantaranya, apabila dosa-dosa besar dijauhi.”
Pada hadits-hadits di atas terdapat sebagian keutamaan puasa Ramadhan. Adapun diantara hikmah-hikmahnya, antaralain:
1.                 Pensucian jiwa dari hal-hal yang buruk dan akhlaq yang hina. Sebab puasa mempersempit aliran darah yang merupakan tempat peredaran setan di dalam tubuh manusia.
2.                 Puasa melatih untuk zuhud terhadap dunia dan syahwat dan memberikan semangat untuk mengajar kebaikan dan kenikmatan di akhirat.
3.                 Puasa mengajarkan kita untuk merasakan penderitaan orang-orang miskin. Dan banyak hikmah lainnya.

D.       Rukun Puasa

Imsak, yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar, hingga terbenamnya matahari di hari itu.
Waktu imsak adalah waktu seseorang mulai manahan diri dari segala yang dapat membatalkan puasa. Waktu ini dimulai sejak terbitnya fajar shadiq dan ditandai dengan dikumandangkannya adzan subuh.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
4 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$#
“Dan makan dan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Lalu sempurnakanlah puasamu hingga malam hari”  QS. Al Baqarah : 187
Ammar Ibnu Abi Ammar berkata, ‘Dan dulu muadzin mengumandangkan adzan jika telah terbit fajar.’ HR. Imam Ahmad 2/510, Ibnu Jarir, dan Al Baihaqi
Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di waktu malam, maka makan dan minumlah kamu hingga mendengar adzannya Ibnu Ummi Maktum karena ia (Ibnu Ummi Maktum) tidak mengumandangkan adzan sampai terbit fajar.” HR Bukhari dan Muslim
Dalam hadits di atas disebutkan ada dua adzan pada subuh hari, yaitu adzannya bilal  (fajar kadzib) dan adzannya Ibnu Ummi Maktum (fajar shadiq).
Maka jelaslah dalam hadits ini bahwa syariat masuknya waktu imsak adalah saat masuknya waktu shalat subuh yang ditandai dengan adzan. Kecuali apabila seseorang masih belum menghabiskan makanan di piringnya atau minuman di gelas yang hendak dia minum, maka boleh menghabiskannya, selama tidak berlebihan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kamu mendengar adzan sedangkan ia masih memegang piring (makan) maka janganlah ia meletakkannya sehingga ia menyelesaikan hajatnya (makannya).” HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim .
Pada waktu iqamat dikumandangkan, Umar masih memegang gelas. Ia (Umar) bertanya : “Apakah saya masih boleh minum, ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Ya (boleh).” Kemudian Umar minum. HR. Ibnu Jarir
“Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam untuk adzan shalat shubuh padahal beliau akan berpuasa. Kemudian beliau meminta gelas untuk minum. Setelah itu beliau mengajakku untuk minum dan kami keluar untuk shalat.”  HR Ibnu Jarir dan Ahmad
Niat sebelum terbit fajar. Wajib bagi orang yang berpuasa untuk meniatkan puasanya. Niat merupakan rukun puasa. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
 إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” Muttafaq alaihi
Puasa yang wajib diniatkan sejak malam, meskipun satu menit sebelum terbitnya fajar, seperti puasa Ramadhan, puasa Kaffarat dan puasa Nadzar .
Niat puasa di sini yaitu menentukan bahwa besok akan melakukan puasa  untuk beribadah kepada Allah.  Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum (terbit fajar) Maka tidaklah sah puasanya". HR Ahmad dan Abu Dawud
Seorang yang hendak berpuasa maka harus menentukan bentuk puasanya ketika berniat, sebab niat membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Maka jika ia hendak berpuasa Ramadhan, hendaklah ia menentukan bentuk puasanya tersebut di dalam niat. Dan sangat penting diketahui bahwa niat adalah amalan hati dan tempatnya di hati, bukan di lidah. Jika telah diniatkan di hati, maka itu sudah kuat, tanpa harus dilafadzkan.

D.       Syarat Wajib Puasa

Muslim. Maka puasanya orang kafir tidak diterima. Dan jika ia masuk Islam, maka tidak perlu mengganti puasa yang ia tinggalkan semasa kafir.
Berusia baligh. Maka seorang anak kecil yang belum baligh, tidak wajib berpuasa. Akan tetapi puasanya sah apabila dia berpuasa.
Berakal. Maka tidak wajib bagi orang gila atau pikun dan semisalnya untuk melaksanakan puasa Ramadhan.
Sehat. Maka orang yang sakit tidak wajib puasa, sampai ia sembuh. Namun apabila ia berpuasa, maka puasanya sah. Jika ia meninggalkan puasanya karena sakit yang melemahkan tubuhnya, sehingga ia tidak dapat berpuasa, maka ia wajib menggantinya pada hari-hari yang lain, di luar bulan Ramadhan. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman:

 فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: “Maka barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” QS Al-Baqarah: 184
Berada di tempat tinggalnya. Orang yang safar (berada dalam perjalanan jauh) maka tidak boleh berpuasa apabila dapat menimbulkan bahaya pada dirinya karena puasanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
( `tBur tb$Ÿ2 $³ÒƒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 3
Maka barangsiapa yang sakit atau berada dalam perjalanan, maka hendaknya ia mengganti puasanya di hari-hari yang lain.” QS Al Baqarah : 185.
Namun apabila berpuasa tidak membahaya-kan dirinya atau tidak terdapat kesulitan yang berat jika ia berpuasa, maka lebih utama baginya untuk berpuasa.
رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أنَّ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرُو الأسْلَمِي قَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ أأصُوْمُ فِيْ السَّفَرِ ؟ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ : إنْ شِئْتَ فَصمْ وَإنْ شِئْتَ فَافْطِرْ
Aisyah radhiallahu anha meriwayatkan bahwa Hamzah bin Amr Al-Aslami berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku boleh berpuasa ketika safar?”. Rasulullah alaihish sholatu was salaam bersabda, “Jika kamu mau berpuasalah, dan jika kamu mau, berbukalah.” Muttafaq alaih
وَقَالَ أَنَسٌ  :  كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ , فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ وَلَا المُفْطِرِ عَلَى الصَّائِمِ
Anas radhiallahu anhu bertutur, bahwa, “Kami pernah bersafar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Orang yang berpuasa tidaklah mencela yang tidak berpuasa, dan yang tidak berpuasa tidak pula mencela yang berpuasa.” Muttafaq ‘alaihi
 فَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الخُدْرِي  قَالَ : كُنَّا نَغْزُوْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ  فِيْ رَمَضَانَ فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا المُفْطِرُ فَلَا يَجِدِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ وَلَا المُفْطِرِ عَلَى الصَّائِمِ يَرَوْنَ أنَّ مَنْ وَجَدَ قُوَّةً فَصَامَ فَإِنَّ ذلِكَ حَسَنٌ وَيَرَوْنَ أنَّ مَنْ وَجَدَ ضَعْفًا فَأَفْطَرَ فَإِنَّ ذلِكَ حَسَنٌ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu, dia berkisah, bahwa, “Kami pernah berangkat berperang bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan. Diantara kami ada yang sedang berpuasa dan ada yang tidak. Tidaklah orang yang berpuasa mencela orang yang tidak berpuasa dan tidak pula orang yang berbuka mencela orang yang berpuasa. Mereka melihat bahwa orang yang kuat, maka berpuasa dan itu baik. Dan mereka juga melihat bahwa orang yang merasa tidak kuat, maka mereka berbuka dan itu pun baik.” HR Muslim
“Dari Abu Darda radhiallahu anhu, ia bercerita, “Kami pernah mengadakan perjalanan bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan yang sangat panas, sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang menyengat. Tidak ada yang berpuasa diantara kami kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.” Muttafaq ‘alaihi
Safar yang diperbolehkan padanya berbuka adalah safar yang mubah (boleh). Adapun safar yang tujuannya adalah maksiat atau safar yang sekedar mencari alasan untuk berbuka, maka tidak dihalalkan untuk berbuka.
Akan tetapi pembolehan ini dengan syarat tidak adanya kesulitan yang berat dalam perjalanannya. Jika ada kesulitan yang berat atau dapat menimbulkan mudharat kepada musafir, maka tidak berpuasa lebih utama. Mengambil rukhshah. Sebab Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada suatu safar melihat seorang pria telah dinaungi sebab panasnya matahari dan manusia berkumpul disekitarnya. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak termasuk kebaikan, berpuasa saat safar.” HR Bukhari no.1946
Bersih dari haidh dan nifas. Adapun wanita yang sedang haidh atau nifas, maka tidak sah bagi mereka untuk berpuasa. Jika wanita mendapatkan haidh atau nifas saat sedang berpuasa, maka batallah puasanya. Sebagaimana Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
ألَيْسَ إذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ فَذلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا
Bukankah jika wanita haidh, maka ia tidak shalat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan agamanya.” HR Bukhari
Aisyah radhiallahu anha bertutur, “Kami (wanita) dahulu diperintahkan untuk mangganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.” HR Muslim
Adapun orang tua yang tidak lagi kuat untuk melaksanakan puasa atau orang sakit yang tidak ada harapan lagi untuk sembuh, maka tidak wajib bagi mereka berpuasa. Sebagaimana firman Allah:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya, “Dan Allah tidaklah menjadikan atas kalian kesulitan di dalam agama ini.” QS Al-Hajj: 78
Dan wajib bagi mereka berfidyah dengan memberi makanan (bukan uang) untuk satu orang miskin setiap satu hari yang ditinggalkan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, bahwa Anas bin Malik tidak berpuasa setahun sebelum meninggalnya disebabkan kelemahan karena usia tua. Maka ia memerintahkan keluarganya membuatkan makanan untuk orang miskin dengan hitungan satu orang miskin dalam sehari.
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Apabila seorang yang sudah tua tak lagi mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan setiap hari dengan satu mud.” Diriwayatkan oleh Ad Daruqutni dengan sanad yang shahih. Dan orang sakit yang tidak  ada harapan kesembuhannya termasuk dalam makna orang tua yang lemah. Jika keduanya tidak mampu membayar fidyah, maka tidak ada kewajiban apa-apa bagi mereka. Allah ta’ala  berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” QS Al-Baqarah: 286
Adapun dengan orang hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keselamatan dirinya, maka ini disamakan hukumnya dengan orang sakit, boleh berbuka dan mengganti puasanya pada hari-hari yang lain.
 إنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ وَضَعَ عَنْ المُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الحُبْلَى وَالمُرْضِعِ الصَّوْمَ
Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi musafir pada puasa dan setengah shalatnya, dan bagi wanita hamil dan menyusui dengan puasa.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasai dan di hasankan At Tirmidzi.
Adapun jika orang hamil berbuka disebabkan mengkhatirkan keselamatan bayinya, maka maka boleh berbuka dan membayar fidyah. Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “ wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin.” HR Abu Dawud, dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil.
Begitupula Ibnu Umar ketika ditanyakan hal serupa, beliau menjawab, “Hendaklah ia berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Artinya : “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” QS Al-Baqarah: 184
Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini telah dihapus dan tinggallah keringanan itu untuk untuk orang tua dan orang lemah, serta wanita hamil dan menyusui apabila keduanya mengkhawatirkan keselamatan bayinya, maka mereka berbuka dan member makan satu orang miskin setiap harinya.” An Nawawi berkata, “Abu Dawud meriwayatkannya dengan sanad shahih.”
Kesimpulan dari pembahasan pada bagian ini adalah syarat wajibnya berpuasa apabila seseorang tersebut muslim, berusia baligh, berakal, sehat, berada di tempat tinggalnya, serta bersih dari haidh dan nifas. Adapun sebab bolehnya seorang tidak berpuasa Ramashan ada empat hal, yaitu : safar, penyakit, haidh dan nifas demikian pula mengkhawatirkan keselamatan dirinya seperti pada orang hamil dan menyusui.

E.         Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa

Seseorang yang membatalkan puasanya selain karena haid dan nifas, tidak dikatakan membatalkan puasanya kecuali dengan tiga syarat; Hendaknya dalam keadaan mengerti, bukan karena tidak tahu; dalam keadaan ingat, bukan sedang lupa; dan dengan keinginan sendiri, bukan dipaksa. Adapun beberapa pembatal puasa, antaralain:
Sengaja makan dan minum. Tapi jika seorang yang berpuasa makan atau minum karena lupa maka puasanya tidak batal, dan dia harus menghentikan makan minumnya saat ingat, lalu melanjutkan puasanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إذَا أكَلَ أَحَدُكُمْ أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Barangsiapa yang lupa, lalu ia makan atau minum padahal ia sedang puasa, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allahlah yang memberinya makan dan minum.” HR Bukhari dan Muslim
Bersenggama. Barangsiapa yang bersetubuh pada siang hari bulan Ramadhan, maka puasanya batal. Dia harus beristghfar dan bertaubat kepada Allah. Selain dia wajib mengganti puasanya tersebut di hari lain (di luar Ramadhan), wajib pula baginya membayar kafarat, yaitu membebaskan budak, jika ia tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika keduanya betul-betul tidak mampu dilakukan, maka ia boleh membayar dengan memberikan makanan kepada 60 orang miskin.
Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa suatu ketika mereka duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lalu datanglah seorang pria dan berkata, “Celakalah aku wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya, “Ada apa denganmu?” Orang itu lalu berkata lagi, “Saya telah bersetubuh dengan istriku padahal saya sedang berpuasa.” Rasulullah bersabda, “Apa kamu bisa membebaskan seorang budak?” Dia berkata, “ tidak.” Rasulullah bertanya lagi, “Apa kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria iu menjawab, “ Tidak.” Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Apa kamu mampu memberi makan kepada 60 orang miskin?” Orang itu menjawab lagi, Tidak.” Maka Rasululah pun terdiam. Pada saat kami dalam keadaan seperti itu, ada seseorang yang datang membawa sekeranjang kurma. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “ Mana pria yang bertanya tadi?”. Pria itu menjawab, “Saya.” Rasulullah bersabda, “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya.”  Lalu pria itu berkata, “Apakah saya harus bersedekah kepada orang yang lebih miskin dari saya? Demi Allah tidak ada keluarga yang lebih miskin di kampug ini melebihi miskinnya keluargaku. Maka Rasuliullah pun tertawa hingga nampak gigi gerahamnya. Lalu beliau bersabda, “Berikanlah makan keluargamu dengan kurma ini.” Muttafaqun Alaih
Perempuan yang wajib puasa jika disetubuhi oleh suaminya pada siang hari Ramadhan dengan kerelaannya maka hukum baginya adalah sama dengan hukum suaminya.Tetapi jika ia dipaksa maka ia harus berusaha menolaknya, dan ia tidak wajib membayar kaffarat karenanya.
Memasukkan sesuatu yang mengenyangkan melalui kerongkongan, hidung, dubur, dll. Termasuk dalam hal ini adalah suntikan vitamin yang mengenyangkan.
Mengeluarkan mani baik karena onani, bersentuhan, ciuman, atau sebab lainnya dengan sengaja. Sebab yang demikian adalah pelampiasan nafsu yang membatalkan puasa. Maka hal ini mewajibkan untuk mengganti puasa tanpa harus membayar kafarat. Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
 إنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِيْ مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَالَمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
Allah memaafkan bagi umatku apa-apa yang terbetik di dalam benaknya, selama mereka tidak mengucapkannya atau mengerjakan-nya.  HR Muslim
Muntah dengan sengaja. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  bersabda, “Barangsiapa yang muntah (dikalahkan oleh muntahnya) maka tidak wajib banginya mengganti. Dan barangsiapa yang sengaja mengeluarkan muntahnya, maka hendaknya dia mengganti puasanya.” HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.
Berbekam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
 أفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُوْمٌ
Telah berbuka orang yang dibekam dan yang membekam.” HR Tirmidzi dan Baihaqi, dishahihkan Imam Ahmad, Ibnul Madini dan Ad Darimi.
Orang yang berniat untuk berbuka. Hal ini disebabkan niat merupakan syarat puasa yang harus tetap ada hingga berbuka. Maka apabila niat telah batal, maka batallah puasanya, wallahu a’lam.
Haidh dan nifas. Maka wanita yang haidh dan nifas di bulan Ramadhan, wajib berbuka dan haram berpuasa. Jika ia berpuasa, maka tidak sah puasanya, sebagaimana pembahasan yang telah lalu di atas.
Jika wanita melihat lendir putih dan dia tahu bahwa ia telah suci maka ia wajib meniatkan puasa sejak malam. Jika ia tidak mengetahui tentang status kesuciannya maka hendaknya ia mengusapnya dengan kapas atau sejenisnya. Jika kapas itu dikeluarkan dalam keadaan bersih maka ia berpuasa. Dan seorang wanita yang haid atau nifas, jika darahnya berhenti pada malam hari lalu niat puasa, kemudian terbit fajar sebelum ia mandi maka menurut segenap ulama, puasanya adalah sah.
Wanita yang mengetahui bahwa kebiasaan haidnya adalah besok misalnya, maka ia tetap harus dalam niat puasa, dan tidak boleh berbuka sampai ia melihat ada darah.
Paling utama bagi wanita haid adalah menerima sunnatullah pada dirinya, ridha dengannya dan tidak mencari jalan untuk menghentikan haid pada bulan Ramadhan.
Jika wanita hamil keguguran, dan janinnya telah berbentuk maka ia dalam keadaan nifas dan tidak boleh berpuasa. Jika belum berbentuk maka ia adalah darah istihadhah (penyakit) dan wajib berpuasa jika ia mampu. Orang yang nifas jika telah suci sebelum 40 hari maka ia harus puasa dan mandi untuk shalat. Dan jika lebih dari 40 hari maka ia niat puasa dan mandi serta darah yang keluar dianggap darah istihadhah.
Peringatan bagi orang yang meninggalkan puasa tanpa alasan. Diriwayatkan oleh Abu Umamah Al Bahili, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua orang yang datang dan memegang pangkal lenganku dan membawaku ke sebuah gunung yang tinggi seraya berkata: "naiklah!" aku berkata: "aku tidak bisa", keduanya berkata lagi: "kami akan memberi kemudahan kepadamu", lalu akupun naik sampai ke pertengahan, tiba-tiba terdengar suara keras. Aku bertanya: "Suara apa itu?" Mereka menjawab: "Itu suara teriakan penghuni Neraka" Kemudian mereka membawaku mendaki lagi, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang yang digantung dengan urat belakang mereka, dari pinggiran mulutnya mengeluarkan darah. Aku bertanya: "Siapakah mereka?" Dijawab: "Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa (pada) bulan Ramadhan sebelum tiba waktunya". (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

F.    Sunnah-sunnah puasa Ramadhan

Sahur. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ
Bersahurlah, karena ada berkah di dalam sahur itu.” Muttafaq ‘alaihi
 فَصْلٌ مَا بَيْنَ صِيَامنَا وَصِيَام أهلِ الكِتَابِ أكْلَةُ السَّحُوْرِ 
Pemisah antara puasa kami dan puasanya ahlul kitab adalah makanan sahur.” HR Muslim dan Tirmidzi, dia berkata, “hadits hasan shahih”
Seorang pembesar tabi’in  yang bernama ‘Amr bin Maimun berkata, “Para sahabat Nabi Muhammad adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat bersahur.” Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi
Segera berbuka jika telah tiba waktunya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersada,
لَا يَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
Umatku akan senantiasa dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka.” HR Bukhari
Rasulullah meriwayatkan dari Rabb-nya tabaaraka wa ta’ala
يقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أحَبُّ عِبَادِيْ إلَيَّ أسْرَعُهُمْ فِطْرًا
“Allah ta’ala berfirman, “Hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah yang paling segera berbuka.” At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan gharib.”
Berbuka dengan Ruthab (kurma muda yang mulai menguning), jika tidak ada maka dengan kurma kering, jika tidak ada maka dengan air.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلْيُفْطِرْ عَلَى التَّمْرِ فَإنْ لَمْ يَجِدْ التَّمْرَ فَعَلَى المَاءِ فَإنَّ المَاءَ طَهُوْرٌ
Jika salah seorang diantara kalian berpuasa, maka hendaklah ia berbuka dengan kurma. Jika ia tidak mendapat kurma, maka dengan air, sesungguhnya air itu suci.” HR Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits hasan shahih.”
Membaca doa berbuka puasa.
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ العُرُوْقُ وَثَبَتَ الأجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
Telah hilang rasa haus, telah basah urat-urat dan telah tetap pahala, insyaallah.” HR Abu Daud, An-Nasai, Al-Hakim, Ad-Daruqutni, dan dia berkata, “isnadnya hasan”
Memberi sajian buka puasa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
 مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا فَلَهُ مِثْلُ أجْرِهِ وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءً
"Barangsiapa yang memberi makanan buka puasa kepada orang yang berpuasa, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.” HR Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih.”

G.        Hal-Hal Yang Boleh Ketika Berpuasa
-     Bersiwak, bahkan hukumnya sunnah
-     Mandi untuk mendinginkan badan
-     Mencicipi makanan tanpa menelan, bagi yang membutuhkan.
-     Bercelak mata
-     Mencium bagi yang mampu menjaga syahwat. Aisyah Radhiallahu anha ditanya tentang apa saja yang boleh dilakukan bagi orang yang berpuasa kepada istrinya, beliau menjawab, “Semuanya boleh dilakukan selain jima’.” HR Abdur Razak dengan sanad shahih di dalam bukunya Al-Mushannaf.
-     Berkumur, istinsyaq dan istintsar

H.       Hal-Hal Dibenci (Makruh) Saat Berpuasa

Beberapa hal berikut ini dapat mencederai puasa dimakruhkan dan dapat mengurangi pahala puasa, antaralain:
Berlebih-lebihan dalam berkumur-kumur dan beristinsyaq. Dikhawatirkan hal ini dapat membuat air masuk ke kerongkongan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Berlebih-lebihanlah dalam beristinsyaq, kecuali engkau sedang puasa.” Tirmidzi no. 788, Nasai 1/no. 66, Ibnu Majah 407 dan dishahihkan Al-Albani
Mencium istri, jika membangkitkan syahwatnya, dan dia tidak termasuk orang yang dapat menjamin dirinya (untuk tidak mengikuti syahwatnya.) Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk mencium istri atau budaknya, sebab dapat menimbulkan gejolak syahwat yang dapat merusak puasanya dengan keluarnya mani atau berjima. Apabila dia mampu menjamin keamanan dirinya dari rusaknya puasanya, maka tidak mengapa. Sebab Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mencium istrinya saat beliau sedang berpuasa. Aisyah radhiallahu anha  berkata, “Dan beliau adalah orang yang paling mampu diantara kalian dalam menahan gejolak nafsunya.” Muttafaq alaih.
Wajib pula atas orang yang tidak mampu menahan syahwatnya untuk menjauhi segala hal yang dapat membangkitkan atau menggerakkan syahwatnya. Seperti berlama-lama memandangi istri atau budaknya, atau memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan jima’. Sebab hal itu akan berakibat keluarnya mani atau berjima’.
Menelan dahak atau ingus. Sebab ludahnya akan sampai ke tenggorokan dan memperoleh kekuatan darinya, dan disamping hal itu adalah menjijikkan dan berbahaya.
Mencicipi makanan tanpa dibutuhkan. Apabila ia perlu untuk mencicipinya, karena dia adalah tukang masak yang perlu mengetahui rasa garam atau yang lainnya, maka tidak mengapa. Asal ia berhati-hati jangan sampai ada yang masuk ke tenggorokannya.
I.            Beberapa Kesalahan Orang Yang Berpuasa

Sebagian orang yang sedang berpuasa kadang terjatuh di dalam beberapa kesalahan yang menyebabkan berkurangnya pahala yang dia peroleh. Juga dapat berpengaruh pada kesempurnaan puasanya. Atau menyelisihi hal yang lebih utama dilakukan oleh seorang muslim yang menginginkan pahala yang lebih sempurna dan besar di sisi Allah.
Diantara kesalahan-kesalahan itu adalah:
 Pertama, Tidak memahami hukum-hukum puasa. Hal ini dapat menyebabkan ia terjatuh dalam dalam sebuah kesalahan, karena tidak mengetahui hukumnya. Maka selayaknya seorang muslim mempelajari dan memahami agama dan ibadah-ibadahnya, seperti puasa dan lainnya, sebelum mengamalkannya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya, maka ia akan difahamkan tentang agama ini.” Muttafaq alaihi
Kedua, Tidak memiliki rasa malu kepada Allah. Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya.” Kami berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami malu alhamdulillah.” Rasulullah bersabda, “Bukan seperti itu, akan tetapi rasa malu yang sesungguhnya kepada Allah adalah engkau menjaga kepalamu dan apa yang ada padanya, dan perut dari apa yang disekitarnya, dan mengingat kematian dan cobaan. Barangsiapa yang menginginkan kesenangan akhirat, ia meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa yang telah melakukan itu, maka ia telah malu dengan malu yang sesungguhnya.” HR Tirmidzi dalam kitab Shifatul Qiyamah no. 2457
Maksud dari menjaga kepala dan yang ada padanya adalah menjaganya dari perbuatan-perbuatan selain ketaatan kepada Allah. Seperti kesyirikan dengan bersujud kepada selain Allah, dan lainnya. Juga menjaganya penglihatan mata, ucapan lisan dan pendengaran telinga.
Maksud dari menjaga perut dan sekitarnya adalah menjaganya dari makanan haram. Juga menjaga yang ada disekitarnya, seperti kemaluan, kedua tangan dan kaki, serta hati.
Ketiga, Berlebih-lebihan dan mubadzir.  Allah ta’ala berfirman:
tûïÏ%©!$#ur !#sŒÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèù̍ó¡ç öNs9ur (#rçŽäIø)tƒ tb%Ÿ2ur šú÷üt/ šÏ9ºsŒ $YB#uqs%
Artinya: “ Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” QS Al-Furqan : 67
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Makan, minum , berpakaian dan bersedekahlah, selama tidak berlebih-lebihan atau sombong.” HR Bukhari no. 5783.
Berlebih-lebihan atau mubadzir terkadang terjadi pada takaran dan kadang pada cara.
Keempat, Memberatkan keluarga untuk membuat makanan dan minuman yang banyak.
Kelima, Tidak makan sahur. Rasulullah shalla-llahu alaihi wa sallam bersabda, “Sahurlah kalian, sebab pada sahur itu terdapat berkah.”Muttafaq alaihi
Keenam, Tidak shalat subuh. Maka orang yang melakukan hal ini dikhawatirkan tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga semata.
Ketujuh, waktu siangnya lebih bayak dihabiskan untuk tidur. Hal ini menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang mana beliau menjadikan malam sebagai waktu tidur dan siang sebagai waktu mencari kehidupan. Orang yang melakukan hal ini meninggalkan banyak kebaikan untuk dirinya, sebab beramal saat puasa lebih utama dibanding saat tidak berpuasa, karena kemuliaan waktunya.
Kedelapan, menyia-nyiakan waktu dengan banyak tidur, mengobrol. Demikian pula sibuk dengan berita-berita yang tidak ada manfaatnya, berteman dengan orang-orang buruk perangainya dan berjalan-jalan, dan yang semisalnya. Waktu seorang muslim adalah perlombaan dalam kebaikan dan dia lebih berlomba lagi di bulan Ramadhan, disebabkan kemualiaan waktu dan tempatnya.
Kesembilan, tidak membaca Al-Qur’an dan menyibukkan diri darinya dan kemuliaan pahalanya. Hal yang memalingkan manusia dari membaca Al-Qur’an adalah banyak tidur, banyak melakukan hal yang sia-sia, banyak bermain, lalai dengan kehidupan dunia, berteman dengan orang yang buruk peragainya, gelapnya hati, sempitnya dada, dikuasai setan, banyak maksiat dan tipisnya iman.
Ramadhan adalah bulan dimana Allah menurun-kan Al-Qur’an itu. Jibril mengajarkan Al-Qur’an kepada Rasulullah pada bulan Ramadhan. Para sahabat Rasulullah radhiallahu anhum meninggalkan segala sesuatunya untuk membaca dan memperlajari Al-Qur’an di bulan Ramadhan.
Kesepuluh, Tidak berdoa saat berbuka dan saat berpuasa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya: Pemimpin yang adil, orang berpuasa sampai berbuka, dan doanya orang yang terdzalimi.” HR Tirmidzi no. 3598
Kesebelas, meninggalkan shalat Magrib di masjid dan sibuk dengan hidangan buka puasa. Makanan tidaklah menyibukkan beliau dari shalat. Maka sepantasnyalah seorang muslim mengikuti sunnah Nabi dalam berbuka dengan beberapa biji kurma, lalu shalat berjama’ah.
Kedua belas, tidak shalat Tarawih, baik bersama imam setelah shalat Isya atau shalat sendirian di rumahnya. Shalat bersama imam lebih utama dari shalat sendirian.
Ketiga belas, begadang hingga larut malam. Hal ini membahayakan kesehatan dan menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Keempat belas, Makan dan minum saat muadzdzin sedang mengumandangkan adzan subuh, hingga akhir adzan. Yang wajib adalah menahan (imsak) pada permulaan adzan, jika muadzdzin adzan tepat waktu. Sebab adzan adalah tanda terbitnya fajar kedua.
Kelima belas, terlalu terburu-buru melaksanakan shalat Tarawih. Hal ini menyebabkan cacatnya beberapa rukun dan kewajiban-kewajiban dalam shalat. Mereka meninggalkan tuma’ninah dalam rukuk dan sujud, salah dalam pengucapan huruf bacaan Al-Qur’an dan sebagainya, karena terburu-buru.

diterjemahkan dari Kitab Al-Fiqh Al-Muyassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar