Selasa, 15 Desember 2015

PENGERTIAN MANHAJ DAN URGENSINYA



Hasil gambar untuk ‫المنهج‬‎Kata manhaj atau minhaj bukan-lah sesuatu yang baru dalam  syari’at,   meski  mungkin  bagi
sebagian orang, kata ini belum akrab di telinganya. Kata ini telah  disebut-sebut  dalam  Kitab  Allah subhanahu wa ta'ala yang mulia. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

“...Untuk setiap ummat di antara kamu, kami berikan aturan dan minhaj...”  (QS. Al-Maaidah:48)
Kamus-kamus bahasa Arab menyebutkan bahwa akar kata manhaj adalah “nahaja” dan arti dasarnya adalah: “terang atau jelas” dan “menempuh”. Jika dikatakan “nahaja thoriq” maka artinya “jalan itu menjadi terang” sedangkan jika dikatakan “nahaja fulan thoriq”, maka artinya: “Si fulan menempuh jalan yang jelas atau terang”.
Dari sini dapat dipahami alasan para pakar bahasa Arab yang memaknai kata manhaj atau minhaj dengan arti jalan yang terang dan jelas. Makna ini pula yang dikatakan Ibnu Abbas radhiallahu anhu ketika menafsirkan kata minhaj dalam surat Al-Maidah ayat 48 di atas, beliau berkata: “maksud aturan adalah syari’at dan minhaj adalah jalan yang terang dan jelas.” (Tafsir Ibnu Katsir:III/129).
Kemudian ungkapan jalan yang terang dan jelas bila dikaitkan dengan perkara abstrak (non materi), maka bisa bermakna cara atau metode. Oleh karena itu dalam Kamus Mu’jam Al-Wasith disebutkan bahwa diantara makna manhaj atau minhaj adalah “Al-Khuttah Al-Maisumah”, yakni: Langkah-langkah atau metode yang telah digariskan dan ditetapkan. Berdasarkan makna ini, maka kurikulum pendidikan pun kemudian disebut “manhaj”.
Kesimpulan, manhaj atau minhaj secara bahasa memiliki makna: Jelas, terang, jalan, cara, metode, langkah-langkah, dan garis-garis yang sudah ditetapkan.
Adapun manhaj atau minhaj dalam pengertian agama adalah: “Kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam proses belajar mengajar agama, yang dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan itu seseorang dapat memahami agama dengan baik dan benar.” (Lihat Kitab Al-Mukhtasharul Hasits fi Bayaan Ushul Manhaj Salaf Ashabul Hadits: hal.15).
Setelah kita mengetahui makna manhaj, maka jelaslah betapa pentingnya manhaj dalam kehidupan setiap muslim. Manhaj menjadi penentu keselamatan bagi setiap orang beriman. Karena seseorang tidak dapat memahami aqidah yang lurus, sebelum mengenal manhaj dalam mempelajari aqidah. Ibadah tidak menjadi benar bila manhaj dalam mempelajari ibadah itu salah, demikian pula dengan urusan-urusan lain dalam semua sisi ajaran agama.
Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Hafizhahullah berkata: “Manhaj diterapkan dalam aqidah, pensucian jiwa, akhlak, muamalah dan dalam semua sisi kehidupan seorang muslim. Setiap langkah yang dilaku-kan seorang muslim disebut manhaj.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah an As’ilah Manahij Al-Jadidah, karya Jamal bin Furaihan, hal. 123).
Manhaj bukan perkara yang dapat dibuat sesuka hati, atau di susun berdasarkan kemauan sendiri, meski manusia sepakat mengatakan manhaj buatan mereka sangat baik dan hasilnya memuaskan, tetap saja manhaj itu tidak bisa diterima, karena manhaj adalah bagian agama. Hal ini diisyaratkan oleh Muhammad bin Sirin Rahimahullah: “Sungguh ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari mana kamu mengambilnya” (Muqaddimah Shohih Muslim).
Maksudnya, perhatikanlah manhaj (metode) kamu dalam mengambil ilmu, karena ilmu adalah bagian dari agama, maka hendaknya manhaj menerima ilmu itu harus sesuai pula dengan aturan agama.
Semua penyimpangan dalam agama berasal dari manhaj (metode) yang salah. Baik kesalahan itu di bidang aqidah, ibadah, dakwah, akhlak maupun sisi-sisi lain dalam agama. Perpecahan ummat yang diisyaratkan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam berakar dari kekeliruan dalam manhaj.
Gambaran manhaj dilukiskan dengan indah oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu mengisah-kan hal itu seraya berkata:
﴿ خَطَّ لَناَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًا . وَخُطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَ شِمَالِهِ ، ثُمَّ قَالَ : هَذِهِ السُّبُلُ ، لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَ أَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَتَّبِعُوْهُ، وَ لَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ، ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
 صَحِيْحٌ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ النَّسَائِي
"Rasulullah r membuat garis dengan tangannya lalu bersabda, 'Ini jalan Allah yang lurus. Lalu beliau mem-buat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda: “Ini adalah jalan-jalan (yang sesat) tak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalam-nya terdapat setan yang mengajak kepadanya. Selanjutnya beliau r membaca firman Allah, 'Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus maka ikutilah dia janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia mewasiatkan kepada kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-An'am:153) (Hadits Shahih Riwayat Imam Ahmad dan Nasa'i)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah: “Apabila orang berakal yang menginginkan perjumpaan dengan Allah subhanahu wa ta'ala mem-perhatikan permisalan ini, lalu mencermati keadaan kelompok-kelompok yang ada, baik khawarij, mu’tazilah, jahmiyah, rafidhah dan lain-lain, niscaya orang berakal akan mendapati bahwa kelompok-kelom-pok tersebutlah yang dimaksudkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai pemilik jalan-jalan yang berserakan itu, dimana pada setiap jalan itu ada syaitan yang mengajak padanya. Sungguh Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, akan tetapi semua itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (Lihat kitab Naqdhul Mantiq hal.49)
Islam adalah agama yang  sudah sempurna dan lengkap, tidak ada satupun perkara yang luput dari pengaturannya. Termasuk manhaj atau metode dalam mengajarkan dan mempelajari agama. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun telah mengabarkan, akan ada sekelompok umat yang tetap berada di atas manhaj yang lurus, tidak pernah menyimpang darinya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muawiyah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمرالله" (رواه مسلم

"Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang memperjuangkan kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang mengabaikan mereka, sehingga datang keputusan
Allah." (HR. Muslim)
Lalu apa dan bagaimana manhaj yang diterima oleh Allah Subhanahu Wata’ala? Nantikan pembahasannya dalam kajian seri manhaj edisi  selanjutnya.

وصلى الله على محمد وعلى آله وأصحبه أجمعين

@ Ust. Amiruddin Djalil, Lc

Disarikan dari kitab:
“Mulia Dengan Manhaj Salaf”  Karya Al Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar